Jumat, 30 Desember 2011

masa kanak-kanak interlisasi atau merekam

Semasa kanak-kanak, aneka macam pengalaman, kesan, pengetahuan direkam ke dalam benak. Ternyata pengalaman, kesan dan pengetahuan itu mengandung tata nilai (values) tertentu. Nilai-nilai yang direkam itu tentu ada yang baik dan ada pula yang buruk semuanya ternyata direkam, bagaikan orang merekam suatu obyek ke dalam film di kamera atau merekam gerakan lewat kamera video, misalnya.

Dalam era globalisasi ternyata sumber pengalaman, kesan, pengetahuan - singkatnya tata nilai tata nilai - berjumlah lebih banyak ketimbang era-era sebelumnya. Kalau dulu sumbernya ialah: keluarga, sekolah (Minggu dan Umum) dan pergaulan, kini ditambah pula dengan media - komunikasi - massa modern: radio, tape, TV, apalagi yang memiliki parabola. Bagi mereka yang tidak mempunyai parabola, katanya, tahun ini jumlah siaran swasta akan bertambah pula. Dengan gejala kemajuan ini akan terus meningkat. Ditambah lagi dengan makin banyaknya aneka bahan bacaan: surat kabar, majalah dan buku.

Jadi, para Guru Sekolah Minggu kiranya jangan membayangkan bahwa Sekolah Minggu merupakan satu-satunya sarana penyampaian nilai-nilai rohani dan budaya. Makin lama ia akan makin terdesak oleh sarana penerus nilai-nilai yang serba canggih dan modern, yang makin lama tampaknya makin menyedot lebih banyak waktu dan perhatian mereka terhadap TV, misalnya apalagi melarangnya. Siapa yang punya wewenang untuk itu, para orangtua pun sulit melakukan itu.

Tugas seorang guru ialah - sesuai dengan tema kajian kita - mempersiapkan anak (dan remaja) menghadapi arus globalisasi, termasuk sarana media komunikasi massa modern. Juga mempersiapkan mereka menghadapi kelompok dan bentuk pergaulan yang tampaknya kian lama kian bertambah "bebas". Hal ini diantaranya dapat dilakukan dengan menjadikan Sekolah Minggu (dan Kebaktian Remaja kalau ada, juga misalnya lewat Komisi Remaja, sebagaimana yang sudah berlaku di beberapa Gereja tertentu), sebagai wadah pergaulan yang sehat dan konstruktif.

Ternyata secara psikologis, ada lagi yang juga direkam ke dalam benak sang anak, yaitu aneka macam "citra" (image). Dan yang paling penting serta menentukan ialah "citra ayah" (father image) dan "citra ibu" (mother image). Citra ayah atau citra ibu bisa baik atau buruk. Citra yang kurang baik lazim disebut dengan "citra yang rancu" (distorted), dus: citra ayah yang rancu, atau citra ibu yang rancu. Yang baik dan yang rancu bisa juga terkombinasi, misalnya citra ayah yang baik serta citra ibu yang rancu; atau sebaliknya: citra ibu yang baik serta citra ayah yang rancu. Lalu dapat pula terjadi bahwa citra ayah dan citra ibu dua-duanya rancu. Keanekaragaman itu tergantung dari perlakuan baik atau buruk ayah dan ibu terhadap sang anak. Proses perekaman yang membuahkan citra di benak itu kerap terjadi tanpa sang anak menyadarinya.

Nilai-nilai yang direkam lewat citra ayah dan citra ibu juga mengandung nilai-nilai ihwal seks. Minat terhadap seks sudah dimulai sejak anak berusia 3-5 tahun, kala sang anak belajar dan tahu membedakan kelainan jenis kelamin ayah (=laki-laki) dan jenis kelamin ibu (=perempuan). Lewat pengenalan akan jenis kelamin ayah dan ibu, sang anak pun lalu sadar apakah ia laki-laki atau perempuan. Pengetahuan mana juga diketahui lewat pengamatan akan alat kelaminnya sendiri, entah ia laki-laki atau perempuan. Pengetahuan-pengetahuan itu terjadi misalnya kalau anak-anak yang berlainan jenis mandi atau dimandikan bersama (di Eropa lazim anak-anak pun mandi bersama orang tuanya, seperti yang diceritakan kepada saya sekitar tahun 1971 oleh sebuah keluarga asal Indonesia yang tinggal di negeri Belanda).
Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

0 komentar:

Posting Komentar