Jumat, 30 Desember 2011

masa remaja memproyeksikan apa yang di internalisasikan

Nah, apa yang diinternalisasikan pada masa kanak-kanak lalu diproyeksikan pada masa remaja, misalnya soal seks.

1. Seorang remaja laki-laki yang punya citra ibu yang baik cenderung memproyeksikan melalui gejala tertarik kepada wanita yang mirip ibunya.

2. Demikianpun seorang remaja perempuan yang mempunyai citra seorang ayah yang baik cenderung tertarik kepada pria yang seperti ayahnya.

3. Sebaliknya seorang remaja laki-laki yang punya citra ibu yang rancu cenderung tertarik kepada wanita yang lain daripada ibunya (artinya mengisi apa yang kurang).

4. Dan seorang remaja perempuan yang punya citra ayah yang rancu cenderung tertarik kepada pria yang lain daripada ayahnya.

5. Seorang remaja, entah laki-laki atau perempuan, yang punya citra ayah dan citra ibu yang dua-duanya rancu akan menghadapi kesulitan di dalam menetapkan wanita atau pria pilihannya.

Dalam kenyataan hidup, memang gambarannya tidaklah sesederhana yang dirinci dan dipaparkan tadi. Perbedaan antara citra yang baik dan citra yang rancu hanyalah masalah gradasi, jarang sampai terjadi yang serba ekstrim (baik semata atau buruk sekali). Di antara kedua ekstrim itu ada sejumlah nuansa yang banyak sekali.

Dilihat dari kerangka paparan tersebut, maka janganlah tercengang manakala seorang guru perempuan Kebaktian Remaja (Bu Ani) disenangi oleh remaja laki-laki (Anton). Dan seorang guru laki-laki (Pak Hari) disenangi oleh remaja perempuan (Mari). Hati-hati loh, nenek bilang itu berbahaya padahal itu gejala yang wajar dan alamiah. Yang berbahaya - karena liku-liku itu tak disadari, misalnya -- ialah kalau Bu Ani juga menyenangi remaja Anton: atau Pak Hari juga menyenangi Mari.

Mengapa gejala tadi disebut "wajar"? Karena semasa remaja - sebetulnya sudah semenjak masa kanak-kanak -- seseorang cenderung membentuk "idola" di benaknya. Ada semacam "citra idola" tertentu, di samping citra ayah dan citra ibu. Peran "citra ayah, citra ibu, citra idola" ialah untuk membantu anak dan remaja memiliki pegangan tata nilai tertentu untuk arah perilakunya.

Unsur "kewajaran" kedua yang perlu juga diketahui ialah apa yang dalam ilmu jiwa disebut sebagai "transference". Yang di transfer ialah kandung emosi yang terbentuk selama dan oleh proses internalisasi masa kanak-kanak. Misalnya: perasaan cinta seorang remaja perempuan terhadap ayahnya tentu tak dapat diwujudkan dengan keinginan untuk menikah dengan sang ayah (nanti ibu bisa repot, padahal semacam "persaingan" serupa itu memang terjadi). Karena tak bisa diwujudkan kepada lawan jenis dari kalangan keluarga sendiri (=ortu), maka hasrat itu lalu di transfer kepada lawan jenis yang bukan keluarga. Hasrat itu mencari - katakanlah -- sasaran lain. Siapa tahu sasaran itu adalah Anda, hai para guru Sekolah Minggu/Remaja. Kalau transference itu ditanggapi secara serius -- kerap tanpa disadari -- terjadilah "counter transference". Dus perlu kewaspadaan sebab kakek bilang itu berbahaya.

Cinta hanyalah salah satu jenis emosi, masih beranekalah ragam-ragam emosi lainnya yang lazim ditransferkan. Misalnya: amarah, benci, kejengkelan. Pernahkah Anda mengalami ketercengangan karena ada remaja yang seolah-olah tiba-tiba marah terhadap Anda, padahal "kekeliruan" yang Anda buat sangatlah sepele (misalnya menegur agar ia tidak membuat gaduh)? Apa latar belakang dari angkara murka (lazim disebut temper tantrum) sedemikian? Jangan-jangan itu sekadar gejala "anti otoriterisme" karena punya ayah yang terlalu otoriter, dan kini amarahnya itu lalu di transfer kepada Anda! Asal Anda tahu saja: gejala itu cukup wajar, setidaknya bisa dipahami!
[Topik Sebelumnya] [Topik Selanjutnya]
Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

0 komentar:

Posting Komentar