Kamis, 10 November 2011

MENCEGAH” KORSLETING” ORANG TUA DENGAN ANAK REMAJA

Sebagian orang tua waktu masa remaja merupakan masa penuh pergolakan. Perilaku demikian konon bisa dibilang normal,  karena tidak dapat dielakan , jadi wajar kalau remaja berlaku begitu. Habis. mereka memang lagi ngebet menegakan kebebasan diri sehingga cenderung ingin memberontak terhadap orang tua.                                                                                                                                                  Setujukah anda dengan pendapat tersebut ?
Sungguh malang kalau anda termasuk orang tua yang menjawab “ya”. Anak remaja sesungguhnya tidak pernah memberontak terhadap orang tua mereka. Yang sebenarnya terjadi mereka hanya memprotes cara orang tua mendidik anak, yang kebanyakan baik untuk orang tua, tapi belum tentu baik menurut anak. Dalam menghadapi anak, orang tua cenderung menggunakan cara yang hanya memenangkan dirinya sendiri, bukan anak-anak mereka.
Umumnya para orang tua cenderung merebut peran sebagai penguasa, pengendali, dan pemaksa keputusan dari setiap masalah, tidak peduli itu masalah anak sekali pun. Dalam hampir setiap kesempatan anak hanya didudukan sebagai boneka, tanpa hak untuk membela pendapatnya.
Betapa banyak orang tua yang begitu fasih mendengarkan syairnya kepada anak, “Belajar ! jangan main melulu” kamu enggak boleh membantah. Ini semua kan demi kamu, pokoknya lakukan saja apa yang Ibu bilang”. “Ayah lebih tau dari pada kamu,” dsb. Itulah antara lain contoh ucapan orang tua yang merendahkan anak. Makanya, jangan heran kalau kemudian ada anak yang lari dari orang tua baik secara fisik maupun psikologis. Kalau mau aman, mestinya orang tua mengharamkan ucapan sejenis itu.
Lantas, orang tua kebagian ngomong apa ? sebenarnya bicara apa pun bisa, asal tidak sampai menabrak rambu-rambu hambatan komunikasi diatas. Dalam keterampilan berkomonikasi, cara menanggapi yang aman ini disebut mendengar aktif.
Kuncinya, orang tua mesti bersikap netral, baik ucapan, pemikiran, maupun tindakannya. Tidak lantas potong kompas, main larang “jangan….” Atau “enggak boleh….” Atau, melarang anak lewat bahasa tubuh. Misalnya, memelototi anak atau memukul tangannya. Tindakan seperti ini biasanya lantaran orang tua maunya buru-buru menuntaskan masalah, tanpa mempertimbangkan efeknya terhadap anak. Yang terbaik, orang tua selayaknya tidak mencampuri pemikiran, perasaan, gagasan dan masalah anak. Apalagi kalau sampai latur didalamnya dan menjadi backing baginya. Namun demikian, orang tua tetap dituntut untuk berempati terhadap anak, yakni mengerti perasaannya dan menempatkan diri dalam posisi mereka. Dengan sikap semacam ini anak akan merasa orang tuanya tidak meninggalkannya.
Diperlukan pula sikap tulus orang tua. Jauhi sikap pura-pura, jangan kalau didepan anak saja orang tua kelihatannya mau mengerti, tapi begitu dibelakangnya malah ngomel, “apa-apa kok orang tua yang mesti membantu memecahkan”.
Sikap menerima dapat membantu menyalin komunikasi yang hangat. Ini bisa disampaikan secara nonverbal, dengan perilaku (pelukan, elusan, tepukan. dsb) maupun ekspresi (tatapan dan intonasi suara yang bersahabat).
Perilaku lalu yang dapat memperlicin jalan komonikasi antara orang tua dengan anak adalah menghadap pada anak, menatap matanya, berbicara sepenuhnya (tidak disambi melalukan sesuatu), dan memberikan keleluasaan berbicara.(mn)
Sebaiknya orang tua tidak menyela pembicaraan anak, yang dapat membuatnya  tidak tuntas menyampaikan unek-unek. Begitu anak sudah mulai menyampaikan sesuatu berarti ia mempercayai orang tuanya. Itu pertanda pintu komunikasi sudah terbuka.
Selanjutnya kesempatan untuk mengenal masalah anak dapat dikuakkan dengan metode mendengar aktif. Orang tua dapat mulai membantu anak beralih dari masalah yang tampak secara fisik kemasalah yang lebih mendasar, yakni apa yang sesungguhnya tengah dirasakan anak.
Pada saat sedang bermasalah, anak biasanya menunjukan isyarat fisik. Misalnya, marah diam, sambil bersungut-sungut, menangis, dsb. Tugas orang tua adalah menggali perasaan yang tersembunyi dibalik itu. Apakah ia kecewa, sakit hati, jengkel, benci, tersinggung, takut, bingung.
Bersimpati dengan penderitaan anak merupakan modal lain, tapi tidak sampai ikut larut. Penting pula bagi orang tuanya untuk menaruh kepercayaan pada anak atas kemampuannya menyelesaikan masalah. Orang tua sebaiknya menyadari pula anak sebagai pribadi yang terpisah. Apa pun sikap dan pandangannya terhadap suatu masalah patut dihargai. Sungguh tidak bijaksana kalau orang tua sampai mencetus “begitu saja kok kamu pikirkan”. 








Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

0 komentar:

Posting Komentar